Pertanyaan "Apa kabar, Cheng?" bukanlah pertanyaan asing lagi, apalagi buatku. Belakangan, saya jarang bertemu orang-orang, baik teman-teman dekat maupun orang yang tak kukenal sama sekali. Komunikasi kami (antar teman dekat) hanya melalui SMS/telepon atau chating dan berbalas mention. Pertanyaan apa kabar itu sangat berarti.
Dulu, Apa kabar bagiku adalah omong kosong, hanya basa-basi belaka, bahkan menakutkan. Ketakukan itu hadir karena jangan sampai ada teman yang macam-macang mengajakku ikut-ikutan bisnis Multilevel, Hahahahaha, kini saya sudah cukup percaya diri dengan jenis pendekatan seperti itu.
Kini, apa kabar telah menjadi semacam alarm yang mengingatkanku akan kondisiku saat ini, tentu saja pertanyaan itu kujawab sungguh-sungguh, entah apakah di seberang sana ia betul-betul menaruh perhatian padaku atau tidak. Dengan apa kabar, saya bisa kembali mengingat seberapa beruntungnya diriku terlahir sebagai dirku sendiri.
Ada banyak kesempatan dimana pertanyaan itu tak bisa kujawab lagi karena teman-temanku tak bisa lagi bertanya padaku. Namun doa-doa keselamatan dari orang tuaku merubah semua kejadian-kejadian mengerikan menjadi satu pelajaran bagiku. Hal yang paling tak bisa kulupakan, dan selalu berhasil membuatku takut adalah sepenggal cerita ketika aku dibonceng oleh Bapakku dalam perjalanan ke kampung.
Bapakku adalah bapak yang luar biasa, ia petani ulet. Kehidupannya tercitra dari perawakannya, bagaimana otot-ototnya merahasiakan kebulatan tekat untuk mempertahankan generasi, walaupun generasi yang dipertahankannya tidak spesial. Bapakku adalah seorang guru, masih kuingat bagaimana ngerinya menjadi anak seorang guru. Saat kecil, dua hal yang paling menakutkan bagiku: Belajar mengaji dan belajar matematika.
Sengeri-ngerinya menjadi anak guru, tak ada yang lebih ngeri daripada menjadi anak dari seorang guru yang berotot! jika kita menjawab 2 untuk 1+1, imbalannya adalah ekspresi datar yang mengancam, jika kita menjawab 3 untuk 1+2, Aihhh..... *sensor*
Sekalipun bapakku tinggal di kota Makassar, ia harus bolak-balik ke Galesong untuk berurusan dengan sawahnya. Jarak antara kota Makassar dan Galesong memang cukup dekat, tak perlu dikhawatirkan. Namun, jarak dekat atau jauh tak ada bedanya jika kita menyusurinya dengan kondisi badan yang kurang fit. Saat itu, ketika melaju di jalan poros Limbung, Bapakku yang mengendarai motor mulai limbung, kemudinya tidak dikendalikan sebagaimana biasanya, sebagaimana mestinya. Untung aku sadar akan situasi itu, sehingga kutawarkan diriku untuk mengendarai motor sebelum kantuk merasukinya dalam-dalam.
Hanya sekali itukah dia mengantuk saat mengendarai motor?
Kejadiannya mungkin sangat sederhana, tanpa drama, tanpa satu kesimpulan apa-apa. Akan tetapi, disanalah disembunyikan makna yang hanya ditemukan oleh orang-orang yang bersyukur. Bagiku, kejadian itu sangat berarti, bagaikan surat yang dikirim dari luar dunia yang menyatakan: Lihat, walaupun kau hidup biasa-biasa saja, bapakmu terus bekerja luar biasa!
Setelah itu, salah satu hal yang paling kusyukuri adalah melihatnya tersenyum.
Mistiknya Kenikmatan
Bagaimana wujud kenikmatan itu? bisakah ia sedikit kasar agar aku mudah mengenalinya? mungkin dengan seperti itu, aku bisa memahami pesan-pesan kehidupan dalam bahasa peristiwa.Di sisi lain, aku agak ragu jika kenikmatan itu berwujud lebih kasar, ia akan menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi, tidak menarik lagi untuk dibahas. Seperti masa depan, ia selalu jadi tema terbaik saat berandai andai, karena kita masih bebas dari jeruji kenyataan, kita bebas membangun imajinasi kehidupan, bagaimana layaknya hidup kita kelak.
Sekalipun nyata (kenikmatan hanya tidak disadari saja), kenikmatan seperti satu gerakan yang sangat cepat, mungkin secepat kerja mata kita menangkap objek, menafsirkan warna, bentuk, ukuran dan kondisi lalu sesegera mungkin dikirimkan ke otak untuk mengidentifikasi objek tersebut. Bayangkan bagaimana mata kita melihat segala objek tanpa harus melalui proses "loading" untuk mengenali objeknya, bisakah kita melakukannya lagi tanpa nikmat penglihatan?
Kenikmatan seakan kerja-kerja di belakang panggung, kita adalah penonton yang hanya memusingkan bagaimana pertunjukan berjalan dengan begitu mengesankan, menikmati sensasi-sensasi ekspresi yang dihamburkan dengan begitu saja oleh panggung. Kita tak pernah mengetahui bagaimana kenikmatan bekerja, walaupun kita merasakan bagaimana jejak-jejak perasaan merangkak menuju kulminasi emosi yang purna.
Saat kita berdiri menghadap ke panggung dan bertepuk tangan dengan tangan yang tertepuk sebisa-bisanya, mungkin itulah wujud kesyukuran, semacam suatu reaksi penuh bahagia, senang sumringah, dimana diri kita meledakkan apa saja dalam tubuh untuk menyempurnakan peristiwa di atas panggung.
Itulah syukur bagiku, penyempurnaan nikmat. Penerjemahan, pemecahan sandi. Interaksi, komunikasi dengan peristiwa. Sebuah pengakuan bahwa kita hanya sang penikmat, makhluk yang hanya diciptakan untuk bertepuk tangan saja!
Manusiawinya Bersyukur
Jika ada yang mengatakan pada anda bahwa diri anda tidak menyenangkan, berwajah jelek, berotak batu, bersuara cempreng, berlogat geli. Maka syukuri saja dan nikmati kehidupan.
Bahkan jika orang-orang mengatakan anda binatang, maka syukurilah. Dengan bersyukur, kita jadi manusia pada detik itu juga.
Note: Maaf jika menggurui, sob .. Hahahahaha
0 comments