Aso adalah pria yang tegar, saat akan melanjutkan studinya ke tingkat Universitas, ia digoda oleh pikiran berhenti ‘belajar’ dan membantu kedua orang tua mereka membiayai Wati dan Hana. Namun, seperti yang sudah kuperkenalkan, Aso adalah pria yang tegar, ia bertahan dari godaan berhenti belajar. Anak muda yang mudah penasaran ini mendapatkan ketegaran itu dari Ibunya yang bertahan menjadi seorang istri dari Laki-laki yang menghabiskan masa tuanya dengan berjualan es poteng. Ibunya adalah ibu yang tegar, ia terus mendampingi suaminya hingga setua ini, padahal di umur muda, suaminya banyak menelantarkannya.
Sewaktu muda, ayah Aso adalah buruh pembuat batu bata, bukan sekedar buruh pembuat batu bata, tetapi buruh pembuat batu bata seutuhnya, lengkap dengan gaya hidup pembuata batu bata pada umumnya; minum minuman keras, berkelahi, berjudi, dah hal kacau lainnya.
Untung Aso kala itu sudah cukup kuat dan berani nenantang ayahnya berdu jotos. Modal berani ia mengatai ayahnya dengan berbagai kata buruk, dengan kekuatannya, ia menahan sakit di sekujur tubuhnya akibat tinju ayahnya yang lebih kuat dan berani.
Aso terus bertahan hingga ayahnya kehabisan amarah. Tubuhnya tak bisa lagi bergerak, ia melawan dengan kata, Aso berteriak: Bajingan! Ayahnya menghamburkan tinju seperti bajingan. Aso berteriak: Binatang! Ayahnya menginjak-injak Aso.
Ibu Aso tegar melihat penyiksaan itu, hatinya lebih remuk dari tubuh Aso, sayang mulutnya tidak selancang Aso sehingga tak ada teriakan untuk melerai Suaminya, dia hanya berdiri, memeluk Wati dan Hana, menunggu NASIB mendamaikan mereka.
Entah darimana tenggorokan Aso mendapatkan kekuatan, saat Daeng Bundu, ayah Aso memegang leher baju anaknya dan siap mendaratkan tinju yang hebat, Aso membelalakkan mata, kini ia punya mata untuk menyerang, ia sajikan wajahnya untuk kepalan tangan yang kekar itu. Ayahnya ikut terbelalak, bukan karena ia melawan tatapan Aso, melainkan kaget melihat kuatnya serangan mata Aso. Tinjunya tertahan, sedetik ia mematung, Aso berhasil menyerang dan mendaratkan satu tatapan hebat pada diri ayahnya, serangan yang lebih kuat dari tendangan dan tinju yang tadi ia terima dari ayahnya.
Kepalan tangan Daeng Bundu gemetar, tak kuasa menahan amarah dan tenaga yang memuncak. Aso paham, ia tahu betul, tenggorokannya pun sudah selesai mengumpulkan tenaga dan tanpa menunggu ia menyerang ayahnya: APA EROKNU ???!!! (apa maumu). Seketika itu, tinju maut melepas kesadarannya.
Aso tergeletak.
Daeng Bundu berdiri, berteriak. Ia tak menerima kekalahan itu, lalu lari. Mencari tempat bersembunyi karena malu telah dikalahkan ‘anak bawang’.
Orang kampung yang sejak tadi melihat penyiksaan itu segera berkerumun, berlomba menolong Aso, menggotong tubuh remuk itu ke dipan di samping rumah. “Alhamdulillah, Tenaja” (tidak), kata seorang.
Orang-orang ini, tak ada yang berani mendekati panggung tinju tadi, mereka kenal betul siapa Daeng Bundu. Percuma ia dinamakan Bundu jika tak membuat orang lain gentar, ia dinamakan Bundu karena sejak kecil ia pemberani dan sangat senang berkelahi. Bundu berarti perang!
Nanti di kesempatan lain, akan kuperkenalkan pada kalian siapa Daeng Bundu ini. Sekarang mari kita jenguk Aso.
Sudah tiga hari Daeng Bundu tidak pulang ke rumah, ia memenjara dirinya di tempat persembunyiannya. Beruntung, ibu Aso bisa konsentrasi merawat anaknya.
Aso sudah pulih, tubuhnya yang remuk-redam kini membaik, ia beruntung menjadi anak dari laki-laki beringas. Sejak kecil tubuhnya sudah terbiasa dengan kekerasan Ayahnya, hingga tidak butuh waktu lama untuk memulihkan dirinya. Ia mulai masuk sekolah, walaupun kadang-kadang ia masih merasa pusing, ia sering mendengar suara berdengung.
Sudah seminggu Daeng Bundu tidak pulang. Hari itu, Ibu Aso meminjam uang kepada saudaranya, lalu berbelanja untuk makan siang. Ia segera menyiapkan menu spesial.
Siang tiba, makanan yang dimasaknya tadi dihidangkan di atas meja, sebagian ia masukkan ke dalam rantang lalu beranjak meninggalkan rumah. Ia menemui suaminya di tempat persembunyian, kebetulan Daeng Bundu baru saja bangun, pening.
Di atas dipan bambu, di sudut gubuk reot dekat lokasi pembuatan batu bata, ia menggelar rantangnya. Ia duduk menunggu suaminya. Agak lama ia menunggu, Daeng Bundu belum menampakkan diri.
Makanan sudah dingin, beberapa pekerja yang lalu-lalang juga sudah berkali-kali melirik sajian santap siang itu, mereka menyapa Daeng Tanang, ibu Aso, begitu saja. Dan Daeng Bundu pun datang dengan penampilan lebih rapi dari biasanya, sayang ia belum mandi.
Mereka berdua menikmati makan siang yang hebat.
Daeng Bundu kembali ke rumah selepas magrib hari itu. Ia melihat anak-anaknya sibuk saling mengganggu kesibukan masing-masing. Tak ada yang berubah, respon ayah kepada anaknya, begitupula sebaliknya. Hari-hari berlalu, hanya Hana yang berhasil akrab dengan ayahnya, Aso hanya bicara sedikit saja, seperlunya, tak ada basa-basi, demikian pula ayahnya kepada dia.
Hidup keluarga ini berjalan biasa saja sejak itu.
Kini Aso melanjutkan pendidikannya ke tingkt universitas, ia memilih merantau, berusaha memperbaiki nasib. Iya menjauh dari lingkungan rumahnya, berharap agar nasib lama tidak berhasil menemukannya di tanah rantau hingga ia mendapati nasib yang baru.
Kini saatnya kuperkenalkan lagi. Aso adalah anak dari keluarga biasa saja. Ibunya adalah buruh tani yang giat, ayahnya adalah penjual es poteng. Ia anak yang tegar, berani, tangkas, cerdas. Dalam urusan angka, Aso tidak mencolok, baginya angka bukan segalanya, angka terlalu miskin untuk menjelaskan sesuatu. Padahal angka lebih kaya dan universal dibandingkan kata-kata.
Walau tak tampil mencolok, Aso cukup disegani kawan-kawannya, mereka senang pada Aso yang sederhana, simpel dan ramah. Ia tak sedikitpun memilih kawan, Aso tak pernah memperdulikan lawan. Segala keterbatasannya membuatnya penuh percaya diri dan itulah modalnya.
Lanjut cerita...
Bukan Aso jika tidak tegar. Sayang, ia kadang berada pada kondisi kurang fit dalam menghadapi suatu masalah, ia dibayang-bayangi oleh dirinya sendiri yang terus menuntut: APA MAUMU ???
Teman-teman Aso heran, bagaimana Aso masih tetap berada di kampus sementara teman-teman seangkatannya telah sibuk dengan urusan dunia; kerja dan dapat uang. Pernah seorang teman bertanya riang kepadanya akan hal itu. Aso hanya tersenyum, ia sulit menjawabnya, ia kebingungan membedakan mana jawaban dan mana apologi.
Saat ini, saat Aso ketahuan ‘kena batunya’ bolehlah dikatakan bahwa awal merintis pendidikannya di Universitas cukup kritis. Rasa ingin tahunya yang besar membuatnya membaca beragam buku di luar dari buku-buku yang dianjurkan oleh universitas. Buku-buku berhasil mengasah kepalanya, buku-buku memandunya membenturkan sesuatu dengan sesuatu, buku-buku membantunya menjelaskan apa yang menyebabkan akibat.
Buku-buku menunjukkannya batas-batas, sekaligus cara bagaimana menghapusnya.
Seharusnya buku-buku itu dapat membantunya untuk meluluskannya dalam waktu singkat. Sayang, dosennya bukanlah buku, demikian pula rektornya.
Cara berfikirnya tumbuh menjadi makhluk beringas, lahir atas perselingkuhan dirinya dengan buku. Bukan kali ini Aso bertemu makhluk beringas. Berbeda dengan yang dulu-dulu, keberingasan ayahnya bisa ia lawan, ia tantang. Kini keberingasan yang dihadapinya ia rawat, ia bahagia dengan itu, walaupun pelan-pelan ia diremukkan olehnya.
Mungkin nasib juga ikut merantau mengikuti Aso. Teman seperkuliahan Aso berhasil menjadikan buku sebagai teman duduk yang baik, teman-temannya bersanding dengan buku atas ijab kabul di hadapan bimbingan penghulu, siapa lagi jika bukan dosen. Sementara persandingan Aso dengan buku, di bawah tangan.
Aso tak cukup kuat menahan nafsunya terhadap buku dan pikiran-pikiran baru yang tersirat di benaknya. Sebagaimana hukumnya, pelampiasan nafsu selalu berbuah akibat, Aso kurang jeli mengamati alur ini, kepalang tanggung Aso mendermakan kehidupannya pada jalur buta.
Penyakit mulai menjangkitinya ketika dia dituntut oleh masa lalunya: APA MAUMU ???
Ibunya merindu, ayahnya terus bermunajat memohon umur dipanjangkan agar ia masih punya kesempatan hingga Aso pulang. Daeng Bundu sangsi atas masa lalunya, ingin ia memeluk anaknya sebelum tuntas nafasnya.
Ia ingin berucap maaf sebelum kesadarannya kabur, seperti Aso dulu berhasil berteriak sebelum jatuh kesadarannya.
Aso terpenjara. Ia didorong orang tua untuk menyelesaikan tugasnya, dosennya yang sudah lapuk menunggu mulai sadar bahwa mereka punya mahasiswa bernama Aso. Dan Aso yang kini makin populer, bukan lagi diantara teman seangkatannya, bahkan dengan dosen, dengan pedagang kaki lima, dengan penjaga toko kelontong tempatnya membeli beberapa batang rokok mulai akrab dengannya, malah kehilangan kepercayaan diri, modal utamanya.
Ia diamuk dirinya sendiri.
Sore itu, dengan setelah putih bermotif garis vertikal yang lusuh, Aso duduk di bangku taman, di bawah pohon Guapuruvu yang sedang memamerkan bunganya yang kuning indah. Sendirian ia menikmati dirinya. Ia diam saja, tidak seperti biasanya ia sangat aktif dan berseloroh ini-itu.
Apa yang diharapkannya sebentar lagi tercapai, ia sudah merencanakan hari besar dengan baik. Ia sudah menyiapkan tiket pesawat untuk ayah ibunya, hasil tabungannya. Ia tersenyum bahagia sambil memiringkan kepalanya dan menatap langi, senyumnya makin lebar, ia makin kegirangan sendiri. Kegirangan yang kontras bagi kebanyakan orang yang hidupnya lurus-lurus saja. Ia melihat ayah dan ibunya melambai dari atas pesawat.
Aso senyam-senyum lagi, sangat bahagia. Dia akan bergelar sarjana beberapa saat lagi, setelah acara kelulusan, ia akan mengajak mereka berkeliling melihat tanah rantau yang sedikit lagi mebunuhnya. Aso tak kuasa menghentikan senyumnya, walaupun disapa oleh bunga kuning yang jatuh dari dahan pohon Guapuruvu.
Sebentar lagi ayahnya datang, ia senang walaupun tak punya rencana mereka akan mengobrol apa.
Dan ayahnya benar-benar datang. Sayang tanpa ibunya.
Ayahnya diantar oleh seorang petugas yang juga bersetelah serba putih menemui Aso yang masih tersenyum. Aso kaget melihat ayahnya, bukan karena Aso tahu dia adalah ayahnya, tapi karena merasa diganggu oleh orang asing itu. Aso berontak, lari menjauh, mencari pohon Guapuruvu lain untuk berteduh dan menikmati khayalannya itu, lagi, berkali-kali, nyaris setiap kali ia berada di bawah pohon Guapuruvu.
Daeng Bundu sangat bingung, ia lalu dituntun untuk masuk ke ruangan petugas dan menemui kepala rumah sakit. Ayah Aso mendapatkan keterangan berikut: Aso ditemukan tersungkur di kamarnya dengan mulut berbusa, teman-teman Aso segera membawanya ke rumah sakit, setelah diperiksa, Aso yang awalnya didiagnosa mengidap epilepsi dirujuk kesini karena Aso mengalami gangguan kejiwaan.
“Apa yang dialami Aso cukup rumit, Aso menderita skizofrenia-katatonik,Pak!”.
Ayah Aso makin bingung.
“Gangguan kejiwaan ini terjadi karena adanya kelainan pada otak sehingga pikiran dan emosi tidak seimbang”.
Ayah Aso makin penasaran. Ia menunggu informasi yang kebih terang.
“Apa Aso pernah jatuh atau terbentur, Pak?”.
“Eee.. Tidak”.
“Ada gangguan secara fisik pada otak Aso, mungkin ia pernah terbentur keras atau dipukuli, hal ini diperparah oleh beban fikiran yang berat sehingga Aso mengalami stres dan kemudian epilepsi. Sayangnya, epilepsi ini berlanjut menjadi skizofrenia-katatonik, Pak”.
Ayah Aso menangis tanpa suara. Ia menatap tangannya dan menangisi dirinya sendiri. Lupa ia ada dimana, Daeng Bundu yang beringas menangis semisal anak bayi, bedanya Daeng Bundu kehilangan suara.
Ia pulang.
Ibu Aso mendengar kabar, cerita yang sebenarnya. Ia histeris, ia berteriak sekuat tenaga, selekas-lekasnya, berlomba dengan nafasnya. Lupa ia, Ibu Aso berkeliling kampung, dengan wajah penuh kasih namun sedih, mulutnya berujar lirih: “Aso!”, Sambil memeragakan gerakan mengelus kepala bayi, seperti dulu ketika ia menggendong Aso kecil keliling kampung.
Teman-teman Aso heran, bagaimana Aso masih tetap berada di kampus sementara teman-teman seangkatannya telah sibuk dengan urusan dunia; kerja dan dapat uang. Pernah seorang teman bertanya riang kepadanya akan hal itu. Aso hanya tersenyum, ia sulit menjawabnya, ia kebingungan membedakan mana jawaban dan mana apologi.
Saat ini, saat Aso ketahuan ‘kena batunya’ bolehlah dikatakan bahwa awal merintis pendidikannya di Universitas cukup kritis. Rasa ingin tahunya yang besar membuatnya membaca beragam buku di luar dari buku-buku yang dianjurkan oleh universitas. Buku-buku berhasil mengasah kepalanya, buku-buku memandunya membenturkan sesuatu dengan sesuatu, buku-buku membantunya menjelaskan apa yang menyebabkan akibat.
Buku-buku menunjukkannya batas-batas, sekaligus cara bagaimana menghapusnya.
Seharusnya buku-buku itu dapat membantunya untuk meluluskannya dalam waktu singkat. Sayang, dosennya bukanlah buku, demikian pula rektornya.
Cara berfikirnya tumbuh menjadi makhluk beringas, lahir atas perselingkuhan dirinya dengan buku. Bukan kali ini Aso bertemu makhluk beringas. Berbeda dengan yang dulu-dulu, keberingasan ayahnya bisa ia lawan, ia tantang. Kini keberingasan yang dihadapinya ia rawat, ia bahagia dengan itu, walaupun pelan-pelan ia diremukkan olehnya.
Mungkin nasib juga ikut merantau mengikuti Aso. Teman seperkuliahan Aso berhasil menjadikan buku sebagai teman duduk yang baik, teman-temannya bersanding dengan buku atas ijab kabul di hadapan bimbingan penghulu, siapa lagi jika bukan dosen. Sementara persandingan Aso dengan buku, di bawah tangan.
Aso tak cukup kuat menahan nafsunya terhadap buku dan pikiran-pikiran baru yang tersirat di benaknya. Sebagaimana hukumnya, pelampiasan nafsu selalu berbuah akibat, Aso kurang jeli mengamati alur ini, kepalang tanggung Aso mendermakan kehidupannya pada jalur buta.
Penyakit mulai menjangkitinya ketika dia dituntut oleh masa lalunya: APA MAUMU ???
Ibunya merindu, ayahnya terus bermunajat memohon umur dipanjangkan agar ia masih punya kesempatan hingga Aso pulang. Daeng Bundu sangsi atas masa lalunya, ingin ia memeluk anaknya sebelum tuntas nafasnya.
Ia ingin berucap maaf sebelum kesadarannya kabur, seperti Aso dulu berhasil berteriak sebelum jatuh kesadarannya.
Aso terpenjara. Ia didorong orang tua untuk menyelesaikan tugasnya, dosennya yang sudah lapuk menunggu mulai sadar bahwa mereka punya mahasiswa bernama Aso. Dan Aso yang kini makin populer, bukan lagi diantara teman seangkatannya, bahkan dengan dosen, dengan pedagang kaki lima, dengan penjaga toko kelontong tempatnya membeli beberapa batang rokok mulai akrab dengannya, malah kehilangan kepercayaan diri, modal utamanya.
Ia diamuk dirinya sendiri.
Sore itu, dengan setelah putih bermotif garis vertikal yang lusuh, Aso duduk di bangku taman, di bawah pohon Guapuruvu yang sedang memamerkan bunganya yang kuning indah. Sendirian ia menikmati dirinya. Ia diam saja, tidak seperti biasanya ia sangat aktif dan berseloroh ini-itu.
Apa yang diharapkannya sebentar lagi tercapai, ia sudah merencanakan hari besar dengan baik. Ia sudah menyiapkan tiket pesawat untuk ayah ibunya, hasil tabungannya. Ia tersenyum bahagia sambil memiringkan kepalanya dan menatap langi, senyumnya makin lebar, ia makin kegirangan sendiri. Kegirangan yang kontras bagi kebanyakan orang yang hidupnya lurus-lurus saja. Ia melihat ayah dan ibunya melambai dari atas pesawat.
Aso senyam-senyum lagi, sangat bahagia. Dia akan bergelar sarjana beberapa saat lagi, setelah acara kelulusan, ia akan mengajak mereka berkeliling melihat tanah rantau yang sedikit lagi mebunuhnya. Aso tak kuasa menghentikan senyumnya, walaupun disapa oleh bunga kuning yang jatuh dari dahan pohon Guapuruvu.
Sebentar lagi ayahnya datang, ia senang walaupun tak punya rencana mereka akan mengobrol apa.
Dan ayahnya benar-benar datang. Sayang tanpa ibunya.
Ayahnya diantar oleh seorang petugas yang juga bersetelah serba putih menemui Aso yang masih tersenyum. Aso kaget melihat ayahnya, bukan karena Aso tahu dia adalah ayahnya, tapi karena merasa diganggu oleh orang asing itu. Aso berontak, lari menjauh, mencari pohon Guapuruvu lain untuk berteduh dan menikmati khayalannya itu, lagi, berkali-kali, nyaris setiap kali ia berada di bawah pohon Guapuruvu.
Daeng Bundu sangat bingung, ia lalu dituntun untuk masuk ke ruangan petugas dan menemui kepala rumah sakit. Ayah Aso mendapatkan keterangan berikut: Aso ditemukan tersungkur di kamarnya dengan mulut berbusa, teman-teman Aso segera membawanya ke rumah sakit, setelah diperiksa, Aso yang awalnya didiagnosa mengidap epilepsi dirujuk kesini karena Aso mengalami gangguan kejiwaan.
“Apa yang dialami Aso cukup rumit, Aso menderita skizofrenia-katatonik,Pak!”.
Ayah Aso makin bingung.
“Gangguan kejiwaan ini terjadi karena adanya kelainan pada otak sehingga pikiran dan emosi tidak seimbang”.
Ayah Aso makin penasaran. Ia menunggu informasi yang kebih terang.
“Apa Aso pernah jatuh atau terbentur, Pak?”.
“Eee.. Tidak”.
“Ada gangguan secara fisik pada otak Aso, mungkin ia pernah terbentur keras atau dipukuli, hal ini diperparah oleh beban fikiran yang berat sehingga Aso mengalami stres dan kemudian epilepsi. Sayangnya, epilepsi ini berlanjut menjadi skizofrenia-katatonik, Pak”.
Ayah Aso menangis tanpa suara. Ia menatap tangannya dan menangisi dirinya sendiri. Lupa ia ada dimana, Daeng Bundu yang beringas menangis semisal anak bayi, bedanya Daeng Bundu kehilangan suara.
Ia pulang.
Ibu Aso mendengar kabar, cerita yang sebenarnya. Ia histeris, ia berteriak sekuat tenaga, selekas-lekasnya, berlomba dengan nafasnya. Lupa ia, Ibu Aso berkeliling kampung, dengan wajah penuh kasih namun sedih, mulutnya berujar lirih: “Aso!”, Sambil memeragakan gerakan mengelus kepala bayi, seperti dulu ketika ia menggendong Aso kecil keliling kampung.
Sumber gambar: www.aprikuma.wordpress.com ©mde-art.com
0 comments