“Aku ingin mati, tapi tidak dengan bunuh diri”. Ia mengatakannya dengan sedikit berbisik. Ternyata bukan hanya aku yang punya pikiran untuk mati dalam waktu dekat, kami berdua memiliki pikiran yang sama. Andaikan aku tidak takut iming-iming neraka untuk mereka yang gagal melawan dorongan untuk bunuh diri, aku sudah tidak disini menulis catatan ini.
Padahal jika aku berhitung, aku akan tetap berhadapan dengan neraka walaupun tidak bunuh diri. Hahahahaha
Aku bertanya padanya, “Apakah kau punya cita-cita?” Ia menghela nafas dan berkata bahwa ia memilikinya. Bahkan ia memiliki banyak cita-cita. Jawabannya itu diluar dari apa yang kuduga, kukira dia tak memiliki cita-cita sedikitpun.
Ia ingin membangun sekolah. Ia juga ingin mengajak anak-anaknya untuk berkeliling dunia. Aku tak peduli dengan cita-cita tersebut.
“Hiduplah untuk cita-cita itu”, kataku. Tadi setelah mengungkapkan keinginannya untuk mati, ia menuntut padaku, “Sebenarnya untuk apa aku hidup? Kenapa aku mesti dilahirkan?” Ia mengungkapkan perasaannya dengan sedikit emosional, suaranya lirih ditengahi isak. Bukankah percuma kita hidup jika ujung-ujungnya kita hanya dihadapkan pada neraka atau surga?
Aku tak menjawab tuntutannya, emoh aku menjawab itu dengan dalil agama atau merespon pertanyaan yang kekanak-kanakan itu. Alih-alih berusaha menjadi penyeimbang untuk kebimbangannya, aku malah ditarik masuk pada ruang rasa dan terjerembab dalam kebimbangannya akan kehidupan. “Duh, bagaimana ini”, kataku dalam hati. Untuk apa sebenarnya kami hidup?
Katanya, kehidupan kami bak lingkaran setan: Tidur, makan, kerja/belajar, mengurusi anak, bersih-bersih rumah, hiburan. Siklus ini berlangsung setiap hari, mungkin anak-anak kami juga akan meneruskan perputaran kehidupan dalam lingkaran setan ini.
Aku melenguh, menatap langit-langit kamar kami yang kecil, lalu kupalingkan pandanganku pada ubun-ubun istriku. Kutatap matanya yang menatap kosong ruang kamar. “Cerita apa yang kau buat untukku, Tuhan?”.
Aku berkata, aku hampir putus asa. Berkata begitu, aku tiba-tiba ingat berita-berita terkait bunuh diri yang marak di Jepang. Bahkan disana ada hutan yang berstatus FAVORIT untuk melakukan bunuh diri, Aokigahara.
“Kita butuh psikolog”, katanya.
“Yang kubutuhkan hanya mengurangi sedikit beban fikiranku, aku butuh fikiran yang baik dan menyusun peta masalah lalu menentukan jalan keluarnya”.
Jiwaku baik-baik saja. Rasanya demikian. Fikiranku saja yang kurang kuat mengolah ‘data-data’ kehidupan dan menguraikannya menjadi kehidupan. Aku butuh sedikit kebebasan, dengan begitu aku bisa meluangkan waktu untuk mengenali kembali siapa diriku yang sebenarnya (kedengaran terlalu kekanak-kanakan kan?).
Kami sempat tertawa, menertawakan diri kami, “Astaga, bahkan laptop dan barang-barang yang kami butuhkan juga rusak, telur sisa empat butir dan sabun mandi sudah tipis”.
Hahahahaha, ada juga sisi lucu dalam kekalutan.
Dengan tawa itu, kami nyaris lupa dengan kematian.
Kami menutup tawa dengan helaan nafas. “Hiduplah untuk cita-citamu”, kataku. Hal itu mungkin memotivasinya, setidaknya memberinya sedikit cara berfikir yang lain: Melampiaskan semuanya pada (mengejar) cita-cita. Tapi aku tidak yakin betul bahwa dia termotivasi, mungkin saranku itu masuk akal baginya, tertanam dalam benaknya, namun semuanya mendadak buyar ketika mengingat apa yang akan kami lakukan besok, bangun, mengurusi rumah, mengurusi anak, bekerja/belajar, hiburan.
Mengingat itu, rasanya cita-cita kami hanya berjarak sejengkal dari kami, tapi kami tak kuasa menggapainya karena terbawa arus perputaran lingkaran setan. Aku pernah mengeluhkan masalah-masalahku pada tuhan, saat itu rasanya tuhan berbisik dengan indah padaku: uruslah masalahmu sendiri.
Sebenarnya apa masalahnya?
Oia, ditengah keluhan istriku yang menolak untuk dilahirkan, aku bertanya padanya, “Bagaimana jika kau dilahirkan sebagai orang kaya? Maukah kau mati?”.
“Entahlah!”, katanya sambil melenguh, menyesali keinginannya untuk mati. “Mungin dengan kekayaan, kita hanya akan mendapatkan masalah yang jenisnya berbeda, polanya mungkin sama saja: kebingungan (mengurusi kekayaan)!”, pikirnya kemudian.
“Demikianlah garis hidup kita, yang kita jalani ini”, kataku dalam hati, kata-kata itu bak lilin dalam diriku. Aku punya cerita kehidupan sendiri, baik atau buruknya kisah itu, setidaknya aku ingin tahu akan bermuara dimana.
Aku butuh keberanian yang besar untuk memutar biduk dan kembali ke pantai, ingkar dari samudra yang dibentuk oleh orang tua. Kalaupun aku harus jadi pelaut, aku tak ingin berhadapan dengan ombak dan buih. Aku ingin menjadi pelaut yang menantang daratan. MELAWAN ARUS !!!
0 comments