Thursday, May 1, 2014

Apakah Kebaikan itu Baik?


kebaikan itu manis
Ilustrasi : Kebaikan itu manis gak yah?

Di ambang tidur, saya memperhatikan istri dan anakku menikmati mimpi mereka masing-masing. Sebenarnya bukan di ambang tidur yang sebenarnya, hanya pura-pura akan tidur karena anakku terbangun, seperti biasa agar ia kembali tertidur, bukan malah mengajakku bermain di tengah malam begini.

Beberapa menit berselang, anakku mungkin sadar akan kesunyian rumah, ia mendekat ke ibunya dan tanpa tenaga berbaring seraya memeluk leher ibunya yang terlelap. Melihat adegan itu saya bertanya dalam hati, apa yang mendorong Una, anakku, dengan lunglai datang ke ibunya lalu memeluknya?

Apakah dorongan alamiah seorang anak terhadap ibunya? karena ia merasa nyaman dekat dengan sang ibu, apalagi memeluknya.

Saya kurang puas dengan pertanyaanku, apalagi pada jawaban yang kubangun sendiri. Pertanyaan yang kurang bagus, cuma melahirkan jawaban yang pas-pasan.

Saya menikmati proses ketika otakku (entah apakah benar-benar otak yang melakukannya) membangun dialog tanya jawab. Saking asiknya menikmati proses tersebut saya bingung bangaimana saya sampai pada satu dialog tanya jawab yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan pertama tadi.

Anak : Yah, bukannya semua sawah yang ayah miliki, serta semua yang ada di semesta ini adalah milik Allah?
Ayah : Betul, Nak! Kenapa?
Anak: Aku bingung, Yah. Bagaimana beberapa petak sawah itu jadi milik Ayah, atau sawah yang lain milik si fulan.
Ayah : Itu urusan duniawi, Nak. Segala sumber daya ini, seperti sawah, telah diberikan Allah kepada manusia untuk dikelola. Dalam hidup ini kita perlu satu usaha agar kita bisa bertahan hidup, misalnya mengelola sawah dengan menanam padi, hasilnya kita jual sebagian, keuntungan hasil penjualan dibelikan ikan dan sayur agar kita tidak cuma makan nasi saja.
Anak: Semua hasil dari pengelolaan itu ayah pakai semua?
Ayah : Iya, Nak, kalau ada lebihnya, disisakan buat yang lain, ditabung.
Anak: Maksudku, ayah tidak berbagi penghasilan dengan Allah? bukankah dia pemilik sebenarnya?
Ayah : Hemmmm??? (si Ayah agak merasa aneh dengan haluan fikir anaknya)
Anak: Kalau sawah milik ayah itu dikerjakan oleh orang lain (dipinjamkan untuk dikelola), ayah kan bakal dapat pembagian dari hasilnya.
Ayah : Iya, betul.
Anak: Nah, harusnya Allah juga mendapat bagian dari hasil sawah ayah.
Ayah : Jadi menurutmu begitu?
Anak: (hanya mengangguk)
Ayah : Nak, Allah itu maha pengasih dan penyayang, dia tidak menciptakan manusia begitu saja tanpa memberikan kehidupan. Semuanya ini adalah rezeki bagi manusia, bukti kasih sayang Allah. Nak, kasih sayang itu tidak mengharap adanya pamrih, sama dengan kasih sayang ayah padamu, ikhlas.
Anak: Tetapi aku mesti bersikap santu pada Ayah dan kasih sayang juga nantinya.
Ayah : Betul, Nak. Kamu anak yang baik jika begitu.
Anak: Trus apakah Ayah adalah ayah yang baik?
Ayah : Ayah selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Anak: Maksudku bagi Allah. Apakah ayah sudah membalas kebaikan Allah yang telah memberikan rezeki?
Ayah : (Sang ayah mencoba berspekulasi) Haruskah, Nak?
Anak: YA, untuk melihat Ayah adalah ayah yang baik, walaupun nilainya mungkin kecil, tapi karena ikhlas penuh syukur mungkin akan berarti sesuatu, mungkin Allah akan memberikan yang lebih lagi.
Ayah : (mencoba menguji anaknya) Ayah fikir Allah tidak membutuhkannya. Kita hanya perlu bersyukur dengan bekerja keras mengelola ini semua sebagai amanah, Nak, lalu ikhlas berapapun hasilnya.
Anak: Hemmm.
Ayah : (menunggu)
Anak: Mungkin Allah memang tidak butuh karena ia tuhan, ia bisa melakukan apa saja. Tapi kita tetap harus melakukannya, membagi keuntungan dengan Allah.
Ayah : Untuk apa lagi?
Anak: Karena kita adalah manusia, Yah.
Ayah : (Bingung, anaknya memilih statemen yang filosofis)
Load disqus comments

0 comments