Mendidik dengan telinga; Maksunya bukan begini, Hahaha |
Ingin kuceritakan kisah, kawan. Saya teringat kembali kejadian di masa silam ini, tak sengaja, ketika kutanya pada adikku melalui pesan singkat, dimana ia berada. Katanya ia sedang bersama dengan kawannya yang dulu berkawan denganku, bahkan hingga saat ini, walaupun rasanya hubungan kami agak renggang belakangan ini, maklum terpisah jarak membuat komunikasi terbatas. Padahal secara teknis tidak ada batas komunikasi di jaman sekarang.
Spontan saya terkenang masa-masa awal berkenalan dengan dia.
Kala itu, saya masih remaja belia yang mencoba menjadi diri sendiri, berdiri di atas akal pikiran sendiri. Anggap saja kecerdasan kinestetikku tidak menyebar ke seluruh bagian tubuh melainkan terpusat di lidah/lisan, sehingga saya cukup payah dalam olahraga, namun termasuk luarbiasa dalam bersilat lidah.
Konsentrasi kecerdasan kinestetik di lidah/lisan, membuatku tidak sabaran dalam mengelolah informasi di otak, jadi tak heran jika pada kala itu saya agak emosional atau tergesa-gesa dalam menyampaikan pendapat, apalagi menurutku itu hebat.
Sebuah penelitian menyebutkan [lupa katanya siapa, dikonfirmasi saja, kawan] bahwa kecerdasan seseorang berkembang pesat di masa remaja, artinya inilah masa dimana semua perangkat kecerdasan bekerja dengan hebat.
Bagi kawan yang piawai dalam menulis, di saat remaja, pena dan kertas mungkin jadi objek pelampiasan atas bergejolaknya kecerdasan. Namun, bagaimana dengan saya yang kala itu mulut saya sangat 'gatal' untuk melisankan akal.
Beruntung dalam garis hidupku, ada seorang kawan hadir disana, dia datang membawa telinga, tidak sepasang telinga, tetapi sepasang telingan plus seonggok kerelaan di hati yang dengan ikhlas menerima semua kata-kataku apa adanya, salah benarnya ia tanggapi dengan manusiawi.
Kawan, seperti kayu yang membutuhkan api untuk menjadikannya bara, demikian pula dengan mulut, ia membutuhkan telinga untuk menjadi senjata, dimana kata adalah pelornya. Berbicara atau menyampaikan pendapat sangatlah penting, kawan! ia menuntut si empunya mulut untuk memiliki urat yang baik, yang menghubungkan otak dan mulutnya.
Saat ia mendengarkan ocehanku, apakah kawanku ini hanya sekedar mendengarkan dan menanggapinya sebagaimana layaknya? tanpa mendidik?.
Mungkin kawan-kawan masih ingat salah satu adegan pada bab awal dalam 'Totto-chan'. Ketika Totto-chan dikeluarkan dari sekolahnya karena mengidap 'penyakit' kecerdasan yang aneh, ia dibawa oleh ibunya ke sebuah sekolah yang unik, Tomoe Gakuen namanya.
Di calon sekolah Totto-chan yang baru itu, dia dibawa ibunya menghadap ke Kepala sekolah, lalu saat kepala sekolah menyambut dan mempersilahkan ibu Totto-chan pulang, sang Kepala sekolah mengambil kursi dan duduk berhadapan langsung dengan Totto-chan. "Sekarang, ceritakan semua tentang dirimu. Ceritakan semua dan apa saja yang ingin kau katakan", kata sang Kepala sekolah.
Totto-chan pun bercerita banyak hal, panjang lebar, hingga ia kehabisan bahan cerita. Melihat Totto-chan kesulitan seperti itu, sang Kepala sekolah menimpali, "Tak ada lagi yang ingin kauceritakan?".
Totto-chan memutar otak, "Ini kesempatan yang bagus sekali", katanya dalam hati. Totto-chan kembali beraksi, menceritakan apa saja, hal remeh-temeh sekalipun, sang Kepala sekolah terus mendengarkan dengan penuh perhatian bahkan sesekali terpesona. Totto-chan menguras habis ceritanya, jarang ada kesempatan emas seperti ini, dimana ada orang yang ingin mendengarkan dengan tulus sebuah cerita yang tidak inspiratif, sebuah cerita biasa saja.
Totto-chan kehabisa cerita, tandas, padahal ia masih ingin bercerita. Karena ia tak lagi punya sesuatu yang bisa ia ceritakan kepada sang Kepala sekolah, ia tampak sedih. Sang Kepala sekolah mengatahui kesedihan Totto-chan, lalu menghiburnya dengan kata-kata, "Nah, sekarang kau murid sekolah ini".
Wahai, kawan! Bukan hanya Totto-chan merasa bahagia karena ia berfikir telah bertemu dengan orang yang benar-benar disukainya. Saya sendiri pun sangat senang, walaupun hanya pembaca cerita tersebut.
Selanjutnya, Totto-chan dan saya mulai merasa percaya diri setelah bertemu dengan orang yang ingin mendengarkan.
Kau tau apa akibat dari datangnya kepercayaan diri itu? Keberanian!
Dalam pendidikan, mentalitas berani sangat dibutuhkan, setidaknya saya sangat membutuhkannya, tidak hanya sekedar kedisiplinan, kesiapan otak menerima informasi dan mengolahnya lalu mereproduksinya dalam lembar ujian.
Saat itu, saya sangat pas dengan diriku, saya tak pernah malu dicerca ini-itu, alasannya karena saya memiliki kepercayaan diri, saya yakin bahwa inilah diri saya.
Kini, aku lebih sering bungkam, ada banyak teman dan sahabat di sekitarku, tapi tidak ada yang ingin membawakan telinga untukku. Parahnya, kepercayaan diri merosot.
Kawan, sudah sejak dulu kita anggap mendidik itu adalah urusan mulut dan tangan, berbicara dan menunjukkan. Orang yang lebih tahu memahamkan dan menasihati si fulan jika kurang paham atau khilaf. Orang yang lebih kuat menunjukkan dan melerai si fulan jika tidak kuasa atau ingkar.
Lalu telinga kita hanya dimanfaatkan untuk menerima. Apa adanya!
Sudah sejak dulu, kawan!
0 comments