Beberapa hari yang lalu, karena alasan rindu, saya ngobrol dengan kawan lama melalui fasilitas chat facebook. Karena sudah lama tidak berkomunikasi, saya tetap mencoba untuk mengakrabkan diri sekaligus menaksir bagaimanakah kondisi kawanku ini setelah lama terpisah dariku.
Saya bersyukur karena dia ada kesibukan saat kutanyai soal apa yang dia lakukan di Makassar. Walaupun punya pekerjaan, dia masih tetap membahas soal kemungkinan untuk mendapatkan kesibukan baru. Ia menyinggung ide kami yang telah lama mengawang-awang, nyaris pudar. Yakni bisnis distribusi beras ke pelosok tenggara pulau Sulawesi.
Kawanku ini punya motivasi tinggi dan ide yang 'menakutkan', sayang ia tak mampu berbuat apa-apa jika hanya sendiri (Emang saya sendiri bisa??? hehehehe)
Setelah berbagai pembahasan berganti, kini kawanku bertanya, apakah saya punya pekerjaan untuk dia? Maksudnya apakah saya punya info atau jaringan yang membutuhkan tenaga untuknya.
Saya jawab singkat saja, bahwa saat ini saya masih ikut orang. Lalu kusarankan dia untuk melakukan pekerjaan kecil-kecilan saja sambil mencicil ide besarnya terwujud sempurna.
Kami masih terus bercakap sehabis pertanyaan itu, walaupun saya sudah tidak konsen lagi karena pengaruh pertanyaan tersebut.
Bukan saja kawanku yang satu ini yang menyinggung soal 'cari pekerjaan'. Banyak kawan-kawan lainnya yang memanfaatkan telingaku untuk sharing mengenai pekerjaan apa yang menarik, cocok untuk dirinya, atau bahkan pertanyaan ekstrim sekalipun, mau kerja apa ya?
Saya hanya tertawa saja, bagaimana mereka meminta saranku padahal saya ini bukanlah pekerja, saya menyebut diri saya sebagai "Professional jobless" yang walaupun nganggur, saya tetap bisa mendapatkan rejeki untuk membiayai hidupku dan keluarga. Alhamdulillah !!!
Di pikiran saya yang beberapa tahun ini agak kusut, saya tidak bisa membayangkan bagaimana diriku akan disibukkan oleh antrian dan menunggu panggilan untuk sebuah pekerjaan. Bayanganku, pekerjaan (yang menuntut untuk berpenampilan) paling rapi yang masuk akal bagiku adalah menjadi dosen. Namun, ide itu kayaknya sudah koyak oleh kesulitanku mengurus kepala sendiri (bagaimana mau mengurusi kepalanya anak orang).
Belakangan ini, saya hanya berfikir untuk bekerja saja, asal bekerja. Syukur jika pekerjaan saya ini bisa melibatkan banyak orang, bisa dimanfaatkan sebagai gantungan hidup. Bukan malah menggantungkan hidup pada orang lain dengan status 'pegawai'.
Padahal sudah banyak slogan, atau perang opini yang mengajak anak muda Indonesia untuk menjadi wirausahawan dibandingkan sebagai pegawai. Bahkan di media sosial, tak sedikit kawan yang membagikan berbagai banner dengan aneka tulisan, salah-satu diantaranya "Kalau bisa menjadi bos, ngapain jadi anak buah"
"Walaupun kaki lima, asal berdiri di atas kaki sendiri"
Malam itu, setelah bercakap dengan kawanku, terbersit dalam pikiranku mengenai ide-ide kemandirian. Cara berfikir mencari kerja seharusnya didaur ulang menjadi membuat lapangan pekerjaan.
Mahasiswa-mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pesta kelulusan, seharusnya tidak berfikir untuk mencari kerja, melainkan membuat lapangan pekerjaan untuk mereka yang tidak berhasil melaksanakan pesta atau syukuran wisuda (seperti saya... hahahaha).
Oia, ada satu muhasabah yang dulu sempat mampir di kepalaku.
Kala itu, kondisi keuangan keluargaku sangat kritis, tak tersisa sepeserpun di rumah, bahkan daftar kawan yang bisa dijadikan tumpuan hutang pun sudah tak tersisa. Kami hanya mengharapkan makan dari acara tahlilan demi tahlilan (Alhamdulillah, saya bersyukur hidup diantara ahli tahlil)
Lalu saat kulihat beberapa botol plastik berhamburan di jalan, saya pun berfikir untuk mengumpulkannya dan menjualnya. Ini ide yang menarik bagiku, tak perlu modal untuk menjadi pemulung (toh, waktu kecil saya sudah terbiasa mengumpulkan barang-barang bekas alias memulung). Setidaknya, saya bisa mendapatkan banyak botol plastik dari kampus, selain itu saya bisa memanfaatkan jaringan teman-teman untuk menyimpan botol plastik di kosan mereka masing-masing untuk saya, setidaknya botol plastik sisa pemakaian mereka sendiri.
Ahhh, setidaknya saya bisa mendapatkan 15.000 per hari dari rutinitas yang begini. Sungguh luarbiasa !!!
Sayangnya, belum sempat kuambil satu botol plastik bekas untuk merealisasikan ideku, di dalam diriku sudah ada penolakan, JANGAN !!!
Sisakan botol-botol plastik itu untuk mereka yang tidak punya skill dan pengetahuan memadai untuk melakukan pekerjaan yang lebih bagus.
Untuk apa saya punya 5 buku teori karya ilmuan terkenal di rumah, jika saya hanya bisa 'mengambil kesempatan kerja' orang lain ???
Wajahku masam mendapatkan penolakan keras dalam diriku itu. "Padahal ini ide yang cukup bagus" Kataku dalam hati sambil terbahak sendiri...
Kini, saya ingin betul-betul membiasakan diri saya berfikir untuk membuat pekerjaan, bukan mencari pekerjaan.
Membiasakan diri membuat target "Sudah berapa banyak karyawan yang kupunya". Bukan lagi "sudah sebesar apa gaji yang kuterima".
Membiasakan diri hidup dengan "Sudah berapa anak yatim yang tinggal di rumah??". Bukan lagi "Sudah berapa mobil mewah yang terparkir di rumah".
Kawan!!! Bantu saya untuk selalu mengingat ini.
Bukan malah sibuk bertanya, "Kapan lulus kuliah???"
0 comments