Saturday, December 28, 2013

Dongeng Patorani, Dongeng tentang Orang-orang Pemberani.

ikan terbang galesong
Ikan terbang (Makassar: Juku tuing-tuing)

Malam itu, selepas shalat isya, Saya, Umi, dan Kakek duduk bersila di atas dipan bambu, kami melingkari sajian santap malam dengan menu 'istimewa' malam itu. Tentu saja ada nasi, kawannya adalah sayur paria (pare) yang dimasak dengan kuah santan bersama potongan kacang panjang, rica-rica mangga muda, dan beberapa ekor ikan terbang, orang Makassar menyebutnya Tuing-tuing.

Umi kesulitan dengan menu tersebut, dia tidak suka sayur pahit seperti paria, belum pernah menyantap rica-rica mangga, ia bahkan heran walaupun akhirnya jadi kesukaan, dan ikan tuing-tuing yang dibakar. Kakekku cepat membaca jika lidah Umi masih asing untuk menu tersebut (maklum Umi berasal dari Meliau-Kalbar) ia bersiap-siap memulai ceramahnya.

Kakek : Kau tau namanya ini ikan ???
Umi : Tidak kutau.
Kakek : Ini namanya ikan tuing-tuing.
Umi : (tertawa pelan mendengar nama itu. Memang nama yang lucu) Iye'.
Kakek : Tau ini ikan ditangkap dimana?
Umi : (tersenyum lebar dan berusaha menjawab) Di laut, itu ikan laut ya, Kek?
Kakek : Betul. 100 untuk kamu !!
Umi : Hehehehe


Saya sendiri khusyuk makan, sambil menunggu apa yang akan terjadi. Hidangan malam itu adalah favoritku, sayangnya. tidak ada telur ikan tuing-tuing yang berendam dalam sayur paria ini, berkali-kali kugali kuah sayur, tak ada sebijipun.

Kebetulan Nenekku datang untuk memperhatikan gelas-gelas kami, apakah telah dipenuhi air putih atau belum, ia melihatku mengaduk-aduk sayur.

Nenek : Apa nuboya, Nak? (Apa yang kamu cari, Nak?)
Saya : Tena bayaona juku tuing-tuinga, Nenek? (tidak ada telur ikan tuing-tuing, Nek?)
Nenek : Aii ka'jalaki, Nak. Kurang-kurangi seng nagappa patorania bedeng. (Aih, harganya sedang mahal, Nak. Tidak banyak yang bisa didapatkan oleh para penangkap ikan tuing-tuing).


Kulanjutkan suapanku. Meski tak ada telur ikan tuing-tuing, tanganku tetap bersimbah kuah sayur.

Kakek : Nutauji itu artinya Patorani, Ahmad ???. (Tanya kakek padaku, ia melanjutkan)
Saya : Nelayang ikan terbang.
Kakek : Betul, seratus untuk kamu. (Umi tersenyum lagi). Kalo Umi, tau kenapa disebut Patorani?
Umi : Tidak tau.
Kakek : Kalo Ahmad ? (kakek memandangku)
Saya : Tidak kutauki.


Kakekku mendapatkan kesempatan emas untuk bercerita, kebetulan ia baru saja selesai mencuci tangannya. Tanpa Basmalah ia memulai sebuah dongeng tentang Patorani.

Patorani itu kata dasarnya adalah Torani atau To barani. To barani artinya orang yang berani. Kenapa dinamakan demikian karena Patorani itu adalah orang-orang yang berani. Ikan tuing-tuing ini ditangkap jauh keluar (jauh dari tepi pantai) dan berhari-hari. Kalau nelayan itu tidak punya keberanian, maka tidak akan dapat ikan ini.

Dulu, ketika orang Galesong pulang berperang dari Jawa, para pasukan hampir kelaparan di atas kapal karena persediaan makanan yang kurang. Hingga pada suatu ketika, pasukan yang kelaparan ini melihat kawanan ikan terbang beterbangan di atas permukaan air.

Dengan sisa tenaga, mereka pun berusaha menangkapnya, walaupun saat itu hasiknya nihil karena tidak mengerti bagaimana menangkap ikan terbang tersebut. Hingga akhirnya mereka pun tiba di kampung halaman.

Sebagai masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil laut, kejadian pada saat pelayaran pulang mereka kala itu tidak dilewatkan, pajak untuk hasil pertanian yang ditetapkan oleh VOC yang telah berhasil menguasai wilayah kerajaan Gowa 
(termasuk Galesong) terlampau tinggi sehingga tidak memungkinkan masyarakat Galesong menggantungkan hidupnya hanya pada sawah. Sementara untuk hasil laut, VOC sering berpatroli dan biasa menangkap kapal nelayan yang menangkap ikan di sekitar tepian pantai. Masa penjajahan itu sangatlah pahit, nelayan tidak punya perahu yang cukup kuat untuk bertarung dengan ganasnya laut.

Akhirnya, pasukan yang tadinya melihat kawanan ikan terbang itu membulatkan tekad untuk berani memanfaatkan perahu seadanya untuk keluar, ke laut. Mereka pun mempersiapkan segala sesuatu untuk melaut, jauh dari pantai, dan menangkap ikan terbang. Berhari-hari mereka di laut, enggan pulang karena belum ada hasil. Namun, keadaan yang memaksa mereka kembali, mereka salah dalam menangkap ikan terbang. Sadar akan hal itu, para pasukan ini mempelajari dengan baik bagaimana cara menangkap ikan spesial itu.

Beberapa kali percobaan belum menentukan hasil yang baik, mental baja para pasukan Galesong ini tidak kendor, latihan militer yang mereka jalani dan falsafah hidup tidak membuat mereka patah arang mengarungi ombak dengan perahu kecil. Banyak diantara mereka yang tidak hanya sekedar gagal mendapatkan ikan terbang, tetapi juga gagal mendapatkan pelukan dari anak mereka saat mereka pulang dan menginjak pasir pantai.

Laut adalah kehidupan mereka.

Keberanian dan keteguhan mereka membawakan hasil yang baik dikemudian hari. Untuk menangkap ikan terbang, mereka membuat bingkai dari bambu lalu dipasangi rumbai-rumbai daun kelapa. Alat ini dinamakan pakaja.

Mereka bersyukur berhasil menangkap ikan terbang. Bukan sebatas syukur atas rejeki Allah yang ditebarkan di laut, melainkan mereka bersyukur karena dengan keberhasilan mendapatkan ikan terbang membuat mereka merdeka dari tekanan VOC yang menjajah tanah dan pesisir pantai mereka.

Jadi tidak salah jika Belanda / VOC menamai mereka Bajak Laut, itu sejalan dengan keberanian mereka mempertaruhkan hidup untuk hidup di laut, bukan untuk berbuat zalim, tetapi untuk mencari harta karun, dan harta karun mereka adalah Juku tuing-tuing (ikan terbang).




Tandas sudah rica-rica mangga dan beberapa ekor ikan tuing-tuing yang tersaji. Saya baru sadar, mendengarkan dongeng di saat santap malam, sangat luar biasa, apalagi menunya adalah HARTA KARUN.



*Jika ada versi lain, silahkan dishare. Cerita di atas adalah dongeng yang bebas direkonstruksi demi menanamkan nilai-nilai.

Load disqus comments

0 comments